
Oleh : Dr. Jan Samuel Maringka SH.,MH
(*π½πππ π π΄ππ’ππ ππ’ππ ππππ-ππππ )
Maraknya kasus yang terungkap belakangan ini, berawal dari berbagai postingan lepas sosial media warga masyarakat yang terus bergulir sehingga menjadi perhatian publik akhirnya mendapat perhatian pimpinan institusi bahkan hingga Presiden harus turun tangan mengambil Keputusan, hal ini kemudian dikenal dengan istilah Citizen Journalism yang menjadi fenomena yang semakin berkembang pesat, ditengah-tengah Masyarakat.
Era digital telah memberikan peluang besar bagi siapa saja berperan untuk menjadi jurnalis, memproduksi, dan menyebarkan informasi ke masyarakat luas. Dalam konteks ini, prinsip “No Viral, No Justice” menjadi semakin relevan, di mana informasi yang tersebar di media sosial atau platform digital sering kali menjadi pemicu terjadinya harapan keadilan, mengungkapkan ketidakbenaran, dan memberikan suara bagi mereka yang terpinggirkan. Masyarakat disajikan kepada pilihan pilihan lebih percaya Kepada media TV mainstream ataukah kepada Chanel ILC dan Mata Najwa bahkan Pemerintah akan lebih suka menggunakan para influencer dalam menyampaikan pesan-pesan kinerja mereka.
Namun, seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin meluasnya jurnalisme warga, muncul tantangan besar terkait dengan bagaimana kita mengatur fenomena ini agar tetap berada dalam koridor hukum dan etika yang benar. Prinsip “No Viral, No Justice” menunjukkan bahwa media sosial, yang sering kali mempercepat proses pengungkapan kebenaran, juga memiliki potensi untuk disalahgunakan jika tidak diatur dengan benar. Oleh karena itu, dalam rangka konsolidasi Pers nasional 2025, perlu ada pemahaman bersama yang lebih mendalam di kalangan media sendiri mengenai persoalan persoalan hukum yang mengatur dunia jurnalisme modern, termasuk didalamnya pengaturan citizen journalism yang semakin berkembang.
Manfaat dan Tantangan Citizen Journalism
Fenomena “No Viral, No Justice” mengungkapkan bahwa banyak kasus yang selama ini tidak mendapat perhatian publik atau pihak berwenang, akhirnya terungkap hanya karena informasi tersebut menjadi viral di media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dapat dengan mudah memberikan pengaruh terhadap proses hukum dan keadilan melalui penyebaran informasi di platform seperti Twitter, Instagram, dan YouTube. Penyebaran informasi ini sering kali mendorong investigasi atau aksi hukum yang mungkin tidak terjadi jika tidak ada perhatian publik yang besar.
Namun, meskipun prinsip ini memberikan manfaat besar, khususnya dalam mendorong transparansi dan memperjuangkan keadilan, penyebaran informasi yang tidak terverifikasi juga dapat menimbulkan kerusakan, seperti mencemarkan nama baik seseorang atau menyebabkan keresahan sosial. Oleh karena itu, meskipun banyak manfaat yang didapatkan dari media sosial dalam memperjuangkan keadilan, perlu ada regulasi yang dapat menjaga agar informasi yang disebarluaskan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan agar tidak menjadi persoalan yang dikategarorikan sebagai penyebaran berita bohong βhoaxβ.
Regulasi Terkait Citizen Journalism: Menilik Undang-Undang yang Ada
Sebagai bagian dari upaya untuk menata dunia pers modern yang semakin kompleks, penting untuk melihat apakah regulasi yang ada saat ini sudah cukup untuk mengatur praktik citizen journalism, termasuk prinsip “No Viral, No Justice”. Beberapa peraturan hukum di Indonesia dapat digunakan untuk mengatur fenomena ini, meskipun tidak secara eksplisit mengatur prinsip tersebut.
1. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
Undang-Undang Pers adalah landasan hukum utama yang mengatur kebebasan pers di Indonesia. Undang-undang ini mengatur hak-hak pers untuk menyampaikan informasi kepada publik, serta kewajiban untuk memberikan informasi yang akurat dan terpercaya. Namun, undang-undang ini lebih mengarah pada media tradisional, seperti surat kabar, televisi, dan radio, dan tidak mencakup peran wartawan digital atau mereka yang terlibat dalam jurnalisme warga melalui media sosial.
Penting untuk memperluas pengertian tentang wartawan dalam Undang-Undang Pers ini, dengan memasukkan wartawan digital yang bekerja di platform-platform sosial media. Dengan demikian, masyarakat yang berperan sebagai citizen journalist juga mendapatkan perlindungan hukum yang sama dengan jurnalis tradisional dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan informasi yang benar kepada publik.
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Salah satu peraturan penting yang dapat digunakan untuk mengatur praktik citizen journalism adalah Undang-Undang ITE. Undang-undang ini mengatur tentang penggunaan media elektronik, termasuk internet dan media sosial, untuk menyebarkan informasi. Dalam konteks “No Viral, No Justice”, penyebaran informasi yang viral melalui media sosial dapat mempengaruhi proses hukum atau mengungkap ketidakadilan, tetapi juga bisa menyebabkan penyebaran hoaks dan fitnah.
Pasal-pasal dalam UU ITE, terutama yang mengatur tentang pencemaran nama baik, penghinaan, dan penyebaran berita bohong, bisa menjadi dasar hukum untuk menanggapi informasi yang tidak terverifikasi di dunia maya. Misalnya, Pasal 27 ayat (3) yang mengatur tentang larangan penyebaran konten yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik, serta Pasal 28 ayat (2) yang mengatur penyebaran berita bohong. Meskipun demikian, tidak ada pasal yang secara langsung mengatur fenomena “No Viral, No Justice”, yang lebih merujuk pada penyebaran informasi untuk mendorong keadilan sosial.
3. Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 (Perubahan UU ITE)
Dalam perubahan UU ITE, ada penambahan pasal yang lebih mengatur tentang penyebaran informasi di dunia maya, terutama terkait dengan konten negatif atau merugikan pihak tertentu. Pasal-pasal ini tetap relevan dengan prinsip “No Viral, No Justice”, karena dapat digunakan untuk mengatur penyebaran informasi yang tidak sesuai dengan fakta, atau bahkan informasi yang hanya bertujuan untuk merusak reputasi seseorang.
Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun regulasi ini dapat digunakan untuk menangani informasi yang merugikan atau hoaks, tidak ada aturan yang secara khusus mengatur bagaimana media sosial dan citizen journalism dapat digunakan untuk memperjuangkan keadilan atau transparansi publik. Oleh karena itu, perlu ada pembaruan atau regulasi khusus yang mengatur jurnalisme warga di platform digital.
4. Peran Dewan Pers dan Kode Etik Jurnalistik
Sebagai lembaga yang mengawasi dan mengatur dunia pers, Dewan Pers berperan penting dalam mengelola perkembangan media, baik itu media tradisional maupun digital. Dewan Pers dapat memperluas perannya untuk mengawasi citizen journalism, mengingat banyaknya informasi yang bersumber dari individu yang tidak terdaftar sebagai jurnalis di media mainstream. Dalam hal ini, Kode Etik Jurnalistik yang ada di Indonesia bisa dijadikan acuan untuk menjaga agar informasi yang disebarkan tetap sesuai dengan standar jurnalistik yang baik, meskipun tidak semua pelaku media sosial mengikuti aturan ini.
Pentingnya Etika dan Pemahaman dalam Media Sosial
Di samping regulasi yang perlu diperkuat, etika dalam bermedia sosial juga menjadi faktor penting dalam menjaga kualitas informasi yang disebarkan. Meski sering kali terlihat sepele, informasi yang viral di media sosial dapat menimbulkan dampak besar. Sebuah postingan atau video bisa menghancurkan reputasi seseorang, atau justru mengangkat seseorang ke tingkat yang tidak seharusnya. Oleh karena itu, setiap individu yang berperan dalam media sosial perlu memiliki pemahaman tentang dampak yang mungkin ditimbulkan dari apa yang mereka sebarkan.
Etika ini harus ditanamkan pada semua pelaku media sosial, baik itu jurnalis digital, influencer, maupun masyarakat umum yang menyebarkan informasi. Prinsip dasar jurnalisme yang mengedepankan verifikasi, keberimbangan, dan tanggung jawab harus menjadi pedoman dalam menyebarkan informasi, terutama yang berkaitan dengan masalah sosial atau hukum. Tanpa etika yang jelas, media sosial bisa menjadi sarana untuk menyebarkan kebohongan dan merusak reputasi, yang pada akhirnya merugikan pihak-pihak yang terlibat.
Kesimpulan
Mengisi Hari Pers Nasional 2025, penting bagi kita untuk merefleksikan peran media dan sosial media dalam Masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam memberikan informasi yang benar terhadap masyarakat, terutama dalam perkembangan citizen journalism dan fenomena “No Viral, No Justice”. Masyarakat memiliki peran penting dalam mengungkapkan kebenaran melalui media sosial, namun perlu ada regulasi yang lebih jelas untuk mengatur praktik ini agar tetap berada dalam koridor hukum dan etika. Undang-Undang Pers, Undang-Undang ITE, dan peraturan lainnya memberikan dasar hukum yang penting, namun perkembangan media sosial yang cepat memerlukan pembaruan regulasi untuk menangani masalah yang timbul dari penyebaran informasi digital. Di samping itu, penting untuk menanamkan etika yang kuat pada semua pelaku media sosial, agar mereka memahami dampak dari informasi yang mereka sebarkan. Dengan demikian, kita dapat menyerap peranjurnalisme digital yang lebih bertanggung jawab dan bermanfaat bagi kesadaran hukum masyarakat. ***